Kejahatan-kejahatan dalam praktik jual
beli online dikhawatirkan, jika tidak
segera diatasi, juga akan berdampak buruk bagi kemajuan e-commerce Indonesia, karena bisa membuat para
pelanggan menjadi takut belanja online. Saat ini Indonesia punya beberapa
Undang-Undang yang bisa menjerat para penipu online dengan
hukuman penjara hingga 12 tahun serta denda hingga 12 miliar rupiah.
Penipuan yang terjadi dalam ranah internet, tentu saja masuk dalam
kategori cyber crime,
yakni kejahatan yang dilakukan dengan medium dunia maya atau ranah internet.
Seperti yang diketahui, ada beberapa jenis cyber
crime yang membutuhkan
kemampuan IT yang tinggi, diantaranya cracking (pembobolan), phishing (mencuri data pribadi melalui situs
palsu), hacking, data forgery, spyware, carding,
hijacking, atau penyebaran virus.
Penipuan jual beli online
sebenarnya tidak perlu kemampuan teknik yang tinggi. Bisa dilakukan dengan cara
semudah tidak memberikan barang yang sesuai pembelian atau tidak memberikannya
sama sekali. Yang paling parah tentu saja barang yang sudah dibeli tidak
dikirim. Atau bisa saja barangnya dikirim tetapi ternyata rusak, tidak sesuai
spesifikasi, barang palsu, dan lain-lain.
Pembeli yang sudah mengalami peristiwa penipuan ini bisa saja jadi kapok
untuk belanja online lagi. Ujung-ujungnya, industri e-commerce Indonesia yang serius dan berusaha
secara jujur, ikut dirugikan.
Tetapi sebenarnya Indonesia sudah punya ‘senjata’ untuk memeranginya.
Yang diperlukan sekarang adalah penegakkan hukumnya, termasuk perangkat yang
bisa menjalankan hukum ini. Salah satunya, yang terbaru, sanksi pidana untuk
kasus penipuan yang terjadi oleh transaksi online telah diatur oleh
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan (UU No 7
2014).
Di aturan ini, pelaku e-commerce dapat dipidana 12 tahun penjara
dan/atau denda Rp 12 miliar bila terbukti melakukan penipuan. Ini termasuk
pelaku usaha elektronik yang diwajibkan untuk mencantumkan data atau informasi
secara lengkap karena bila tidak akan dikenakan sanksi administratif berupa
pencabutan izin usaha.
Ini cuplikan pasal 115 yang secara khusus mengatur hal ini:
“Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan
menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).”
Sedangkan untuk data atau informasi yang dimaksud terdapat dalam pasal
dalam pasal 65 ayat 1: “Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang
dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik wajib menyediakan data
dan/atau informasi secara lengkap dan benar, mencakup identitas dan legalitas
pelaku usaha sebagai produsen atau pelaku usaha distribusi.”
Sedangkan yang dimaksud dengan data dan informasi yang dimaksudkan pada
pasal 65 ayat satu dijelaskan dalam ayat 3, data dan informasi tersebut paling
paling sedikit memuat identitas dan legalitas pelaku usaha sebagai produsen
atau pelaku usaha distribusi, persyaratan teknis barang yang ditawarkan,
persyaratan teknis atau kualifikasi Jasa yang ditawarkan, harga dan cara
pembayaran Barang dan/atau Jasa, dan cara penyerahan Barang. Untuk pelanggaran
ini, pelaku bisnis dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin
( Pasal 65 ayat 5).
Selain itu perlu diketahui bahwa sistem elektronik yang dimaksudkan
wajib memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU
ITE). Secara garis besar mengatur tentang informasi dan transaksi
elektronik. Sistem elektronik di atur dalam UU ITE pasal 16.
Khusus untuk sanksi penipuan dari transaksi elektronik terdapat pada
pasal 28 ayat (1) yang menyatakan: “Setiap Orang dengan sengaja, dan
tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian
konsumen dalam Transaksi Elektronik.”
Dalam UU ITE tersebut, siapa yang melanggar, bisa diancam pidana penjara
paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Sedangkan untuk penyelesaikan kasus dapat dilakukan dapat dilakukan
melalui pengadilan maupun mekanisme penyelesaian sengketa lainnya.
Sekarang tinggal penegakkan hukumnya dan perangkat yang bisa menjalankan
hukum itu. Tetapi ada satu lagi yang tidak kalah penting, yakni peran serta
dari konsumen sendiri. Sebab, kasus penipuan adalah delik laporan. Faktanya,
masih banyak juga konsumen yang enggan melaporkan kasus ini kepada yang
berwajib karena merasa jumlah uang sedikit dan tak mau repot.
Cara Penyidik Melacak Pelaku Penipuan dalam Jual Beli Online
Langkah
pertama, Anda melaporkannya kepada Aparat Penegak Hukum (“APH”) disertai bukti
awal berupa data/informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya. Jika kasus
tersebut ditindaklanjuti oleh APH dalam sebuah proses penyelidikan/penyidikan,
maka APH akan menelusuri sumber dokumen elektronik tersebut. Dalam praktiknya,
biasanya pertama-tama APH akan melacak keberadaan pelaku dengan menelusuri
alamat Internet Protocol (“IP Address”) pelaku
berdasarkan log IP Address yang tersimpan dalamserver pengelola web
site/homepage yang dijadikan sarana pelaku dalam melakukan penipuan.
Permasalahannya
adalah, APH akan menemui kesulitan jika web site/homepage tersebut
pemiliknya berada di luar wilayah yurisdiksi Indonesia (seperti facebook,
google, twitter, yahoo, dll.). Meskipun saat ini APH (polisi maupun Penyidik
Pegawai Negeri Sipil/PPNS Kementerian Komunikasi dan Informatika) telah bekerja
sama dengan beberapa pengelola website/homepage di luar
wilayah Indonesia, dalam praktiknya tidak mudah untuk mendapatkan IP
address seorang pelaku yang diduga melakukan tindak pidana dengan
menggunakan layananweb site/homepage tertentu. Hal ini disebabkan
adanya perbedaan prosedur hukum antar-negara. Meskipun pemerintah antar-negara
melalui aparat penegak hukumnya telah membuat perjanjian Mutual
Legal Asistance (“MLA”) atau perjanjian bantuan hukum timbal
balik, pada kenyataannya MLA tidak serta merta berlaku dalam setiap kasus yang
melibatkan antar-negara. Permasalahan yurisdiksi inilah yang seringkali menjadi
penyebab tidak dapat diprosesnya atau tertundanya penyelidikan/penyidikan
kasus-kasus cyber crime.
Perlu
diingat juga, bahwa dalam banyak kasus, meskipun APH telah berhasil melacak
sebuah IP address terduga pelaku, tidak mudah begitu saja
mengetahui identitas dan posisi pelaku. Dengan banyak teknik canggih, pelaku
bisa dengan mudah menyamarkan alamatInternet Protocol, memalsukan
alamat Internet Protocol, atau bahkan mengecoh APH dan korban
dengan cara menggunakan alamat Internet Protocol yang berasal
dari luar negeri.
Apabila
identitas penjual/pembeli yang diduga melakukan penipuan telah diketahui,
langkah APH selanjutnya adalah membuktikan secara teknis perbuatan tersebut.
APH akan menyita semua Dokumen/Informasi Elektronik yang diduga terkait
perbuatan tersebut guna kepentingan penyidikan sampai dengan persidangan.
Jika kita
sebagai korban, tentu kita tidak perlu pesimis terhadap kemungkinan
terungkapnya kasus tersebut, karena saat ini sudah banyak kasus penipuan
secara online yang telah berhasil diselesaikan oleh Aparat
Penegak Hukum di Indonesia.
Perlakuan Hukum
Penipuan
secara online pada prinisipnya sama dengan penipuan
konvensional. Yang membedakan hanyalah pada sarana perbuatannya yakni
menggunakan Sistem Elektronik (komputer, internet, perangkat telekomunikasi). Sehingga
secara hukum, penipuan secara online dapat diperlakukan sama
sebagaimana delik konvensional yang diatur dalamKitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Dasar hukum
yang digunakan untuk menjerat pelaku penipuan saat ini adalah Pasal 378
KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:
"Barang
siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama
4 tahun."
(1) Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan
yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Untuk
pembuktiannya, APH bisa menggunakan bukti elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagai perluasan bukti sebagaimana Pasal 5 ayat (2) UU ITE, di samping bukti
konvensional lainnya sesuai denganKitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).
Bunyi Pasal
5 UU ITE:
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia
Sebagai
catatan, beberapa negara maju mengkategorikan secara terpisah delik penipuan
yang dilakukan secara online (computer related fraud)
dalam ketentuan khusus cyber crime. Sedangkan di Indonesia, UU ITE
yang ada saat ini belum memuat pasal khusus/eksplisit tentang delik “penipuan”.
Pasal 28 ayat (1) UU ITE saat ini bersifat general/umum dengan titik berat
perbuatan “penyebaran berita bohong dan menyesatkan” serta pada “kerugian”
yang diakibatkan perbuatan tersebut. Tujuan rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE
tersebut adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingan konsumen.
Perbedaan prinsipnya dengan delik penipuan pada KUHP adalah unsur “menguntungkan diri
sendiri” dalam Pasal 378 KUHP tidak tercantum lagi dalam Pasal 28 ayat (1)
UU ITE, dengan konsekuensi hukum bahwa diuntungkan atau tidaknya pelaku
penipuan, tidak menghapus unsur pidana atas perbuatan tersebut dengan ketentuan
perbuatan tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Delik khusus
“penipuan” dalam UU ITE, baru akan dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang
tentang Revisi UU ITE yang saat ini dalam tahap pembahasan antar-kementerian.
Dasar hukum:
3. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik